RANNEWS.CO.ID, YOGYAKARTA – Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mendapat kehormatan menjadi tuan rumah sidang kedua Digital Economy Working Group (DEWG) G20 atau Kelompok Kerja Ekonomi Digital pada 17 hingga 19 Mei 2022.
Pantauan infopublik, Senin (16/5/2022), sejumlah baliho informasi, telah terpampang dari mulai Yogyakarta International Airport (YIA) atau Bandara Internasional Yogyakarta, Kulonprogo, hingga di beberapa titik di jalan menuju kota Yogyakarta.
Dipilihnya Yogyakarta bukan tanpa alasan. Status sebagai Daerah Istimewa, Yogyakarta berkenaan dengan runutan sejarah berdirinya provinsi ini, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan.
Menurut Babad Gianti, Yogyakarta atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa) adalah nama yang diberikan Paku Buwono II (raja Mataram tahun 1719-1727) sebagai pengganti nama pesanggrahan Gartitawati.
Yogyakarta berarti Yogya yang kerta. Yogya yang makmur. Sedangkan Ngayogyakarta Hadiningrat berarti Yogya yang makmur dan yang paling utama. Sumber lain mengatakan, nama Yogyakarta diambil dari nama (ibu) kota Sanskrit Ayodhya dalam epos Ramayana.
Dalam penggunaannya sehari-hari, Yogyakarta lazim diucapkan Jogja (karta) atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa).
Sebelum Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, kota ini sudah mempunyai tradisi pemerintahan karena Yogyakarta adalah Kasultanan, termasuk di dalamnya terdapat juga Kadipaten Pakualaman.
Daerah yang punya sejarah asal-usul dengan pemerintahannya sendiri ini, di jaman penjajahan Hindia Belanda disebut Zelfbesturende Landschappen.
Di zaman kemerdekaan disebut dengan nama Daerah Swapraja. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan pada 1755 oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I.
Sementara Kadipaten Pakualaman, didirikan pada 1813 oleh Pangeran Notokusumo, saudara Sultan Hamengku Buwono II, yang kemudian bergelar Adipati Paku Alam I. Baik Kasultanan maupun Pakualaman, diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri.
Semua itu dinyatakan di dalam kontrak politik. Terakhir kontrak politik Kasultanan tercantum dalam Staatsblad 1941 No. 47 dan kontrak politik Pakualaman dalam Staatsblaad 1941 No. 577.
Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17-1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII mengetok kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu, mewujudkan satu kesatuan Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta.
Sri sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Daerah Istimewa
Pegangan hukumnya adalah dari 4 Januari 1946 hingga 17 Desember 1949, Yogyakarta menjadi Ibukota Negara Republik Indonesia, justru dimasa perjuangan bahkan mengalami saat-saat yang sangat mendebarkan, hampir-hampir saja Negara Republik Indonesia tamat riwayatnya.
Oleh karena itu, pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia yang berkumpul dan berjuang di Yogyakarta mempunyai kenangan tersendiri tentang wilayah ini.
Apalagi pemuda-pemudanya, yang setelah perang selesai, melanjutkan studinya di Universitas Gajah Mada, sebuah Universitas Negeri yang pertama didirikan oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno, sekaligus menjadi monumen hidup untuk memperingati perjuangan Yogyakarta.
Dengan dasar pasal 18 Undang-undang 1945, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menghendaki agar kedudukan sebagai Daerah Istimewa untuk Daerah Tingkat I, tetap lestari dengan mengingat sejarah pembentukan dan perkembangan Pemerintahan Daerahnya yang sepatutnya dihormati.
Pasal 18 undang-undang dasar 1945 itu menyatakan bahwa “pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam Daerah-daerah yang bersifat Istimewa“. Sebagai Daerah Otonom setingkat Provinsi, Daerah Istimewa Yogyakarta dibentuk dengan Undang-undang No.3 tahun 1950, sesuai dengan maksud pasal 18 UUD 1945 tersebut.
Disebutkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta adalah meliputi bekas Daerah/Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman.
Sebagai ibukota Provinsi DIY, Kota Yogyakarta, kaya predikat, baik berasal dari sejarah maupun potensi yang ada, seperti sebagai kota perjuangan, kota kebudayaan, kota pelajar, dan kota pariwisata.
Sebutan kota perjuangan untuk kota ini, berkenaan dengan peran Yogyakarta dalam konstelasi perjuangan bangsa Indonesia pada jaman kolonial Belanda, jaman penjajahan Jepang, maupun pada jaman perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Yogyakarta pernah menjadi pusat kerajaan, baik Kerajaan Mataram (Islam), Kesultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman.
Sedangkan sematan sebagai kota kebudayaan untuk kota ini berkaitan erat dengan peninggalan-peninggalan budaya bernilai tinggi semasa kerajaan-kerajaan tersebut yang sampai kini masih tetap lestari.
Ini juga berkaitan dengan banyaknya pusat-pusat seni dan budaya. Sebutan kata Mataram yang banyak digunakan sekarang ini, tidak lain adalah sebuah kebanggaan atas kejayaan Kerajaan Mataram.
Predikat sebagai kota pelajar berkaitan dengan sejarah dan peran kota ini dalam dunia pendidikan di Indonesia. Di samping adanya berbagai pendidikan di setiap jenjang pendidikan tersedia di propinsi ini, di Yogyakarta terdapat banyak mahasiswa dan pelajar dari seluruh daerah di Indonesia.
Tidak berlebihan bila Yogyakarta disebut sebagai miniatur Indonesia. Sebutan Yogyakarta sebagai kota pariwisata menggambarkan potensi provinsi ini dalam kacamata kepariwisataan. Yogyakarta adalah daerah tujuan wisata terbesar kedua setelah Bali.
Digital Economy Working Group (DEWG)
Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengajak mitra platform digital yang tergabung dalam Industry Task Force (ITF) Digital Economy Working Group (DEWG) G20 untuk berkolaborasi menggaungkan agenda Indonesia dalam Presidensi G20.
Staf Khusus Menteri Kominfo Bidang Kebijakan Digital dan SDM, Dedy Permadi, menyatakan, keterlibatan industri diharapkan turut menyukseskan rangkaian kegiatan DEWG G20.
Hal itu bisa dilakukan dengan publikasi melalui media massa serta showcase dalam rangkaian Sidang DEWG G20.
“Teman-teman (Industry Task Force) punya inisiatif untuk event dan terlibat dalam meeting DEWG G20, baik di leaders meeting, ministerial meeting, maupun working group. Kami juga mohon berkenan untuk bisa menggerakkan di media, karena saya rasa ini sangat penting untuk menggaungkan dan membumikan DEWG G20,” tuturnya dalam pertemuan Industry Task Force DEWG G20 di Ops Room Kantor Kementerian Kominfo, Jakarta Pusat. (vin)